Maret 27, 2009
Selamanya Seniman Tak Akan Bisa dipasung
Acara yang dimulai pukul 11 siang ini diawali dengan pertunjukan teater dari komunitas teater ETC ( English Teater Club) . Tak lama kemudian Putu Wijaya dipersilahkan untuk beraksi di panggung yang boleh dikatakan sederhana milik Gedung Sawunggaling. Dengan property minimalis ( level + 2m dan kursi kayu yang diletakkan di atas level tersebut), Putu Wijaya dibantu oleh para personil Teater ETC mementaskan naskah berjudul Poligami (karya Putu Wijaya) dengan apik. Tentu tanpa briefing apalagi latihan bersama, mereka mampu berkolaborasi. Layaknya membacakan dongeng kepada penonton, Putu Wijaya terlihat menggebu-gebu namun tetap mampu memainkan emosi penonton yang memenuhi Gedung Sawunggaling.
Kemeriahan tepuk tangan seluruh penonton Gedung Sawunggaling melengkapi kesuksesan pertunjukkan monolog awal Putu Wijaya. Seusai pertunjukkan, PW ( panggilan akrab Putu Wijaya) langsung menggelar talk show tepat pukul 11.30 WIB. Mengawali dialog, PW mulai menjawab pertanyaan salah satu penonton terkait awal mula monolog. Berawal dari pujian sesembahan yang diucapkan oleh seseorang kepada Dewa. Tak hanya ucapan, pujian- pujian tersebut juga disertai dengan gerak tubuh untuk bercerita. Hingga sekarang dialog yang dilakukan oleh satu orang ini disebut dengan istilah monolog. Monolog yang juga merupakan bagian dari pertunjukkan teater ini berasal dari Yunani.
Menurut PW, teater itu sulit jika dipikir sulit. Makna teater yang selalu dipegang oleh pria yang lahir pada tanggal 11 April 1944 yakni upacara bersama untuk memasuki dunia khayal. Layaknya kita berkhayal, pencarian bentuk suatu cerita yang kita inginkan pun tak sesulit jika hanya dibayangkan. Salah satu kebiasaan PW yakni cerita atau naskah teater terbentuk setelah latihan. Jadi saat latihan itulah cerita dikonstruksikan. Kita tidak perlu terhantui bagaimana bentuk suatu naskah yang nanti akan kita pentaskan. Yang paling penting adalah bagaimana kita membangun imajinasi penonton saat menyaksikan pementasan kita.
Dalam proses latihan pun, monolog atau bahkan teater tidak membutuhkan banyak perlengkapan. Cukup dengan tubuh dan jiwa yang sehat, kita bisa saja memulai untuk berlatih. “Improvisasi saja,” tambahnya.
Kemudian muncul pertanyaan tentang perbedaan istilah monoplay dan monolog. Menurut PW, kedua istilah tersebut maknanya sama, hanya saja kita selalu membenarkan segala sesuatu yang berasal dari Barat, khususnya tentang istilah dan kebudayaan Barat. “Keliru jika kita mempunyai anggapan Barat adalah pembenaran. Hal ini karena kita sebagai bangsa Timur khususnya Indonesia juga mempunyai cara tersendiri untuk berpikir dan berperilaku,” tambahnya.
Proses talkshow bertambah dinamis saat muncul pertanyaan dari salah seorang penonton yang juga aktif dalam dunia Teater, Galuh. Lelaki yang juga terdaftar sebagai mahasiswa fakultas sendratasik jurusan seni pertunjukkan ini menanyakan terkait hadirnya teror mental yang dirasakannya saat menyaksikan pertunjukan monolog Putu. Bagi seniman yang lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali ini terror mental jangan dijadikan sebagai hal yang menakutkan. Teror mental dapat berupa banyak hal, misalnya suasana sepi menjadi sangat ramai secara tiba- tiba atau sebaliknya. Selain itu, teror mental juga dapat berupa longlongan anjing di malam hari yang menambah kesunyian malam. Secara fungsional, teror mental yang selalu dihadirkan dalam setiap pementasan Putu, merupakan usaha Putu untuk membalikkan mental spiritualitas baik penonton maupun pemain.
Kemudian muncul pertanyaan dari salah seorang penonton yang berasal dari Kabupaten Blitar. Dia bertanya, bagaimana Putu Wijaya bisa sehebat sekarang. Apa mungkin jika saya bisa tahu lebih dulu tentang monolog sebelum Putu, saya bisa mengalahkan pamor Putu Wijaya? Jika dipahami secara sepintas, pertanyaan ini menggelikan. Seluruh penonton ricuh karena mendengarkannya. Namun PW menyikapinya dengan dewasa. “Ini semua bukan masalah tahu lebih dulu. Melainkan niat dan usaha. Jika kalian ingin mengalahkan saya, kalian harus kerja keras 100x dari saya,” ungkap Putu Wijaya.
Siang ini Putu Wijaya seakan menyalurkan semangat ‘45nya kepada seluruh penonton Gedung Sawunggaling. Sambil menjawab satu persatu pertanyaan yang terlontar dari penonton, PW juga memberikan penggalan- penggalan acting untuk mempertegas pendapatnya terkait karya seni khususnya monolog. Misalnya saat ada salah seorang penonton yang bertanya mengenai pengesahan UU Pornografi apakah bisa membatasi karya seniman?
Dengan tegas, PW mengungkapkan bahwa ia melawan pornografi. “ Semua orang pun melawan pornografi/ pornoaksi. Namun isi UU Pornografi kurang bagus. Di dalamnya terdapat definisi pornografi yang tidak jelas. Pasal- pasalnya pun menimbulkan kerancuan, ambigu", tandasnya. “Selamanya seniman tidak akan bisa dipasung,” tambahnya. Tepuk tangan riuh dan sorak tanda setuju menggema, menggetarkan gedung Sawunggaling. (petruk)
Maret 22, 2009
Klik Comment di bawah ini untuk memberikan testimoni dan terimakasih atas perhatiannya."
Putu Merdeka Di UNAIR
”Apa sebenarnya hakekat kemerdekaan ? Apa betul kita sudah merdeka ?” Kalimat penggalan tersebut merupakan isi dari pementasan monolog Putu Wijaya yang berjudul Merdeka. Monolog tersebut berbicara tentang makna merdeka dan kemerdekaan yang sudah ditafsirkan dengan berbagai cara sehingga hasilnya berbeda bahkan bertentangan. Pentas dimainkan dengan dua karakter, yaitu kakek dan cucu. Lelaki tua yang memakai tongkat itu memelihara burung perkutut yang sehari-hari menjadi temnannya. Sedangkan cucunya duduk di sekolah dasar yang ingin selalu tahu tentang kemerdekaan. Berkali-kali sang cucu bertanya kepada kakeknya dan sang kakekpun menjawab dengan memberikan penjelasan tentang kemerdekaan bangsa ini. Dengan rasa ingin tahu yang cukup tinggi, cucunya selalu menyodorkan berbagi pertanyaan, hingga kakek seakan tidak percaya kalau anak sekecil cucunya itu punya pemikiran-pemikiran layaknya orang dewasa. Berbagai pertanyaan tersebut membuat sang kakek berpikir ulang tentang arti kemerdekaan yang benar-benar mutlak.
Pementasan yang berlangsung sekitar 60 menit itu diadakan di Universitas Airlangga untuk memperingati Dies Natalis yang ke 54. Pentas monolog itu dipadati oleh puluhan penonton yang sangat antusias menyaksikan penampilan teaterawan terkemuka di negara kita ini. Sebelum di Surabaya, monolog ini juga pernah dimainkan di beberapa kota di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Malang, Singaraja, Sumba, Timor, Padang, Makassar, Kalimantan Timur. Tak hanya di dalam negeri, pentas ini juga telah keliling dari beberapa negara, Brunei Darussalam, Malaysia, Afrika Selatan, Belanda, Karibia, Suriname.
PW (panggilan akrab Putu Wijaya) tak hanya bermain sendiri, tetapi ia juga mengajak para penonton berkomunikasi di sela-sela pementasannya. Bahkan ada suatu adegan yang tidak ada dalam naskah yakni PW berdiri membelakangi penonton dengan terus berdialog dan tiba-tiba ia memegang kain putih lalu BRUAAKKK...ternyata PW terjatuh dari panggung. Kejadian tersebut membuat penonton tertawa terbahak-bahak karena hal itu disangka salah satu adegan dalam naskah Merdeka. Dan PW bergegas bangun dengan ditolong salah satu panitia yang ada di belakang, lalu dengan cepat ia menanggapi reaksi penonton, antara marah dan tidak ia mengatakan, ”Loh kok pada ketawa? Itu tadi tidak termasuk dalam naskah, saya tadi jatuh beneran, tanyain mas yang nolong saya tadi,” tegasnya. Setelah itu pementasan berjalan lagi dan PW tetap asyik menyelesaikan monolognya hinngga tuntas dan sempat pula menerbangkan burung-burung merpati putih sebagai tanda kemerdekaan bagi burung tersebut.(Jengking)