Kamis (20/11l) lalu sangat bersinar, matahari begitu terang seakan menyulut semangat para mahasiswa dan mahasiswi Jurusan Bahasa dan Seni UNESA untuk menyerbu gedung pertunjukan Sawunggaling. Gedung yang beralamat di jalan Lakar Santri Lidah Wetan Surabaya bak gula yang didatangi semut, penuh sesak oleh kerumunan mahasiswa yang mengantri di loket untuk menukar tiket masuk. Bukan untuk menonton film melainkan untuk menyaksikan aksi monolog Putu Wijaya. Tak hanya sekedar menonton, mereka juga ingin berdialog dengan Putu Wijaya yang terkenal sebagai seniman dan penulis. Sebagian besar dari mereka mulai mengantri dari pukul 07.00 WIB.
Acara yang dimulai pukul 11 siang ini diawali dengan pertunjukan teater dari komunitas teater ETC ( English Teater Club) . Tak lama kemudian Putu Wijaya dipersilahkan untuk beraksi di panggung yang boleh dikatakan sederhana milik Gedung Sawunggaling. Dengan property minimalis ( level + 2m dan kursi kayu yang diletakkan di atas level tersebut), Putu Wijaya dibantu oleh para personil Teater ETC mementaskan naskah berjudul Poligami (karya Putu Wijaya) dengan apik. Tentu tanpa briefing apalagi latihan bersama, mereka mampu berkolaborasi. Layaknya membacakan dongeng kepada penonton, Putu Wijaya terlihat menggebu-gebu namun tetap mampu memainkan emosi penonton yang memenuhi Gedung Sawunggaling.
Kemeriahan tepuk tangan seluruh penonton Gedung Sawunggaling melengkapi kesuksesan pertunjukkan monolog awal Putu Wijaya. Seusai pertunjukkan, PW ( panggilan akrab Putu Wijaya) langsung menggelar talk show tepat pukul 11.30 WIB. Mengawali dialog, PW mulai menjawab pertanyaan salah satu penonton terkait awal mula monolog. Berawal dari pujian sesembahan yang diucapkan oleh seseorang kepada Dewa. Tak hanya ucapan, pujian- pujian tersebut juga disertai dengan gerak tubuh untuk bercerita. Hingga sekarang dialog yang dilakukan oleh satu orang ini disebut dengan istilah monolog. Monolog yang juga merupakan bagian dari pertunjukkan teater ini berasal dari Yunani.
Menurut PW, teater itu sulit jika dipikir sulit. Makna teater yang selalu dipegang oleh pria yang lahir pada tanggal 11 April 1944 yakni upacara bersama untuk memasuki dunia khayal. Layaknya kita berkhayal, pencarian bentuk suatu cerita yang kita inginkan pun tak sesulit jika hanya dibayangkan. Salah satu kebiasaan PW yakni cerita atau naskah teater terbentuk setelah latihan. Jadi saat latihan itulah cerita dikonstruksikan. Kita tidak perlu terhantui bagaimana bentuk suatu naskah yang nanti akan kita pentaskan. Yang paling penting adalah bagaimana kita membangun imajinasi penonton saat menyaksikan pementasan kita.
Dalam proses latihan pun, monolog atau bahkan teater tidak membutuhkan banyak perlengkapan. Cukup dengan tubuh dan jiwa yang sehat, kita bisa saja memulai untuk berlatih. “Improvisasi saja,” tambahnya.
Kemudian muncul pertanyaan tentang perbedaan istilah monoplay dan monolog. Menurut PW, kedua istilah tersebut maknanya sama, hanya saja kita selalu membenarkan segala sesuatu yang berasal dari Barat, khususnya tentang istilah dan kebudayaan Barat. “Keliru jika kita mempunyai anggapan Barat adalah pembenaran. Hal ini karena kita sebagai bangsa Timur khususnya Indonesia juga mempunyai cara tersendiri untuk berpikir dan berperilaku,” tambahnya.
Proses talkshow bertambah dinamis saat muncul pertanyaan dari salah seorang penonton yang juga aktif dalam dunia Teater, Galuh. Lelaki yang juga terdaftar sebagai mahasiswa fakultas sendratasik jurusan seni pertunjukkan ini menanyakan terkait hadirnya teror mental yang dirasakannya saat menyaksikan pertunjukan monolog Putu. Bagi seniman yang lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali ini terror mental jangan dijadikan sebagai hal yang menakutkan. Teror mental dapat berupa banyak hal, misalnya suasana sepi menjadi sangat ramai secara tiba- tiba atau sebaliknya. Selain itu, teror mental juga dapat berupa longlongan anjing di malam hari yang menambah kesunyian malam. Secara fungsional, teror mental yang selalu dihadirkan dalam setiap pementasan Putu, merupakan usaha Putu untuk membalikkan mental spiritualitas baik penonton maupun pemain.
Kemudian muncul pertanyaan dari salah seorang penonton yang berasal dari Kabupaten Blitar. Dia bertanya, bagaimana Putu Wijaya bisa sehebat sekarang. Apa mungkin jika saya bisa tahu lebih dulu tentang monolog sebelum Putu, saya bisa mengalahkan pamor Putu Wijaya? Jika dipahami secara sepintas, pertanyaan ini menggelikan. Seluruh penonton ricuh karena mendengarkannya. Namun PW menyikapinya dengan dewasa. “Ini semua bukan masalah tahu lebih dulu. Melainkan niat dan usaha. Jika kalian ingin mengalahkan saya, kalian harus kerja keras 100x dari saya,” ungkap Putu Wijaya.
Siang ini Putu Wijaya seakan menyalurkan semangat ‘45nya kepada seluruh penonton Gedung Sawunggaling. Sambil menjawab satu persatu pertanyaan yang terlontar dari penonton, PW juga memberikan penggalan- penggalan acting untuk mempertegas pendapatnya terkait karya seni khususnya monolog. Misalnya saat ada salah seorang penonton yang bertanya mengenai pengesahan UU Pornografi apakah bisa membatasi karya seniman?
Dengan tegas, PW mengungkapkan bahwa ia melawan pornografi. “ Semua orang pun melawan pornografi/ pornoaksi. Namun isi UU Pornografi kurang bagus. Di dalamnya terdapat definisi pornografi yang tidak jelas. Pasal- pasalnya pun menimbulkan kerancuan, ambigu", tandasnya. “Selamanya seniman tidak akan bisa dipasung,” tambahnya. Tepuk tangan riuh dan sorak tanda setuju menggema, menggetarkan gedung Sawunggaling. (petruk)
Acara yang dimulai pukul 11 siang ini diawali dengan pertunjukan teater dari komunitas teater ETC ( English Teater Club) . Tak lama kemudian Putu Wijaya dipersilahkan untuk beraksi di panggung yang boleh dikatakan sederhana milik Gedung Sawunggaling. Dengan property minimalis ( level + 2m dan kursi kayu yang diletakkan di atas level tersebut), Putu Wijaya dibantu oleh para personil Teater ETC mementaskan naskah berjudul Poligami (karya Putu Wijaya) dengan apik. Tentu tanpa briefing apalagi latihan bersama, mereka mampu berkolaborasi. Layaknya membacakan dongeng kepada penonton, Putu Wijaya terlihat menggebu-gebu namun tetap mampu memainkan emosi penonton yang memenuhi Gedung Sawunggaling.
Kemeriahan tepuk tangan seluruh penonton Gedung Sawunggaling melengkapi kesuksesan pertunjukkan monolog awal Putu Wijaya. Seusai pertunjukkan, PW ( panggilan akrab Putu Wijaya) langsung menggelar talk show tepat pukul 11.30 WIB. Mengawali dialog, PW mulai menjawab pertanyaan salah satu penonton terkait awal mula monolog. Berawal dari pujian sesembahan yang diucapkan oleh seseorang kepada Dewa. Tak hanya ucapan, pujian- pujian tersebut juga disertai dengan gerak tubuh untuk bercerita. Hingga sekarang dialog yang dilakukan oleh satu orang ini disebut dengan istilah monolog. Monolog yang juga merupakan bagian dari pertunjukkan teater ini berasal dari Yunani.
Menurut PW, teater itu sulit jika dipikir sulit. Makna teater yang selalu dipegang oleh pria yang lahir pada tanggal 11 April 1944 yakni upacara bersama untuk memasuki dunia khayal. Layaknya kita berkhayal, pencarian bentuk suatu cerita yang kita inginkan pun tak sesulit jika hanya dibayangkan. Salah satu kebiasaan PW yakni cerita atau naskah teater terbentuk setelah latihan. Jadi saat latihan itulah cerita dikonstruksikan. Kita tidak perlu terhantui bagaimana bentuk suatu naskah yang nanti akan kita pentaskan. Yang paling penting adalah bagaimana kita membangun imajinasi penonton saat menyaksikan pementasan kita.
Dalam proses latihan pun, monolog atau bahkan teater tidak membutuhkan banyak perlengkapan. Cukup dengan tubuh dan jiwa yang sehat, kita bisa saja memulai untuk berlatih. “Improvisasi saja,” tambahnya.
Kemudian muncul pertanyaan tentang perbedaan istilah monoplay dan monolog. Menurut PW, kedua istilah tersebut maknanya sama, hanya saja kita selalu membenarkan segala sesuatu yang berasal dari Barat, khususnya tentang istilah dan kebudayaan Barat. “Keliru jika kita mempunyai anggapan Barat adalah pembenaran. Hal ini karena kita sebagai bangsa Timur khususnya Indonesia juga mempunyai cara tersendiri untuk berpikir dan berperilaku,” tambahnya.
Proses talkshow bertambah dinamis saat muncul pertanyaan dari salah seorang penonton yang juga aktif dalam dunia Teater, Galuh. Lelaki yang juga terdaftar sebagai mahasiswa fakultas sendratasik jurusan seni pertunjukkan ini menanyakan terkait hadirnya teror mental yang dirasakannya saat menyaksikan pertunjukan monolog Putu. Bagi seniman yang lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali ini terror mental jangan dijadikan sebagai hal yang menakutkan. Teror mental dapat berupa banyak hal, misalnya suasana sepi menjadi sangat ramai secara tiba- tiba atau sebaliknya. Selain itu, teror mental juga dapat berupa longlongan anjing di malam hari yang menambah kesunyian malam. Secara fungsional, teror mental yang selalu dihadirkan dalam setiap pementasan Putu, merupakan usaha Putu untuk membalikkan mental spiritualitas baik penonton maupun pemain.
Kemudian muncul pertanyaan dari salah seorang penonton yang berasal dari Kabupaten Blitar. Dia bertanya, bagaimana Putu Wijaya bisa sehebat sekarang. Apa mungkin jika saya bisa tahu lebih dulu tentang monolog sebelum Putu, saya bisa mengalahkan pamor Putu Wijaya? Jika dipahami secara sepintas, pertanyaan ini menggelikan. Seluruh penonton ricuh karena mendengarkannya. Namun PW menyikapinya dengan dewasa. “Ini semua bukan masalah tahu lebih dulu. Melainkan niat dan usaha. Jika kalian ingin mengalahkan saya, kalian harus kerja keras 100x dari saya,” ungkap Putu Wijaya.
Siang ini Putu Wijaya seakan menyalurkan semangat ‘45nya kepada seluruh penonton Gedung Sawunggaling. Sambil menjawab satu persatu pertanyaan yang terlontar dari penonton, PW juga memberikan penggalan- penggalan acting untuk mempertegas pendapatnya terkait karya seni khususnya monolog. Misalnya saat ada salah seorang penonton yang bertanya mengenai pengesahan UU Pornografi apakah bisa membatasi karya seniman?
Dengan tegas, PW mengungkapkan bahwa ia melawan pornografi. “ Semua orang pun melawan pornografi/ pornoaksi. Namun isi UU Pornografi kurang bagus. Di dalamnya terdapat definisi pornografi yang tidak jelas. Pasal- pasalnya pun menimbulkan kerancuan, ambigu", tandasnya. “Selamanya seniman tidak akan bisa dipasung,” tambahnya. Tepuk tangan riuh dan sorak tanda setuju menggema, menggetarkan gedung Sawunggaling. (petruk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar